Friday, September 30, 2016

Hakekat Guru



1Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.
Yakobus 3:1

Di zaman dimana gajahpun bisa dilatih untuk melukis, kita menghadapi persoalan berat dalam ranah pendidikan, yaitu hakekat guru sedang diremehkan dan diturunkan pada level operator mesin.  Kelangkaan guru menjadi titik balik perubahan radikal pendidikan di zaman revolusi industri.  Dengan pola piker bahwa sesuatu haruslah bisa direplikasi, maka gurupun diusahakan untuk direplikasi sebanyak mungkin demi memenuhi kebutuhan pasar pendidikan.  Bersamaan dengan itu pula pendidikan direduksi pengertiannya sampai pada pemahaman bahwa yang namanya pendidikan adalah sekolah.  Formalisasi pendidikan memimpin kepada institutionalisasi pendidikan.  Maka sekolah menjadi simbol pendidikan.  Dengan demikian sekolah akhirnya dipandang sebagai pabrik penghasil produk-produk yang disebut lulusan.  Untuk memastikan supaya kualitas lulusan memiliki standar yang sama, maka diperlukan mekanisme proses fabrikasi yang memenuhi standar minimum.  Karena semua jenis pendidikan pasti harus bergantung kepada guru, maka ketersediaan guru menjadi topik yang sangat penting.  Dengan standar ideal seorang guru, sangatlah sulit membentuk dan mencetak guru dengan kualitas yang seharusnya.  Maka terjadilah reduksi di sana sini.  Hal ini dimungkinkan karena pola pikir revolusi industri sudah mendominasi, sehingga pendidikan pun sudah dianggap sebagai industri yang mana sekolahlah yang menjadi wakilnya.
Reduksi yang umum terjadi di industri sekolah adalah kualitas guru yang disesuaikan dengan tujuan pencapaian sekolah.  Di dalam bisnis, produk yang dibuat diatur sesuai dengan target pasar yang diambil.  Demikian juga dengan industri sekolah.  Jika target pasarnya adalah menyediakan pendidikan formal level biasa-biasa, maka kualitas gurupun hanya dibutuhkan yang biasa-biasa saja.  Demikianlah terjadi penurunan kualitas guru.  Tetapi masalah ketersediaan guru ternyata tidak pula terselesaikan.  Karena masih saja kurang jumlah guru yang diperlukan.  Maka tak jarang ditemukan kelas yang tidak ada gurunya atau guru yang harus merangkap melampaui kapasitas tenaga dan waktu yang dimilikinya.  Hal ini menimbulkan keresahan, sebab kualitas yang diharapkan sesuai dengan target pasar tidak dapat dikontrol dengan baik.  Maka industri sekolah akhirnya harus menemukan cara baru untuk mengatasi masalah ini.  Reduksi yang lain lagi diciptakan, yaitu dengan membuat mesin.  Dalam konteks industri sekolah mesin yang dimaksud bukanlah suatu perangkat yang beratnya 2 ton, tetapi mesin dari sekolah adalah kurikulum.  Kurikulum dibuat sedetil mungkin lepas dari kepribadian dari tiap guru masing-masing dan dipetakan dalam perencanaan unit, pelajaran harian, sampai kepada manual guru dan buku teks.  Sehingga guru yang berkompeten di bidangnya tidaklah lagi terlalu diperlukan.  Yang dibutuhkan hanyalah seseorang yang bisa membaca dan mengikuti serta menjalankan “mesin” persis sama dengan instruksi yang ada di buku teks dan manual guru.  Dengan “mesin” ini sekolah tidak lagi membutuhkan mencari seorang guru, karena semua orang bisa menjadi “guru.”

Labelnya sama, guru, tetapi isinya sudah jauh dari makna guru yang seharusnya.  Sehingga hakekat guru yang asli sudah direndahkan sampai pada level yang sangat hina.  Kalau gajah saja bisa dilatih untuk melukis, maka setiap orang tentunya dapat dilatih menjadi guru.  Inilah kecelakaan besar dalam dunia pendidikan yang saat ini menimbulkan keruwetan dan kerusakan parah dalam semua lini kehidupan.  Sebab mereka yang disebut guru ini sebetulnya banyak dari mereka bukanlah betul-betul guru.  Mereka hanyalah bekerja sebagai guru demi sesuap nasi.  Pola pikir revolusi industri akhirnya betul-betul mendominasi pendidikan yang mereduksinya menjadi sebuah pabrik penghasil suatu jenis komoditas.

Yakobus dengan tegas menyampaikan bahwa jangan banyak yang menjadi guru, sebab guru akan dihakimi lebih berat.  Prinsip ini adalah prinsip yang universal.  Industri sekolah buta akan hal ini.  Tetapi bukan berarti prinsip ini sudah tidak lagi berlaku.  Prinsip ini tetap berlaku.  Semua guru bertanggungjawab kepada pemberi tugas yang paling tinggi, yaitu Tuhan sendiri.  Tugas yang diberikan adalah tugas yang sangat fundamental, yaitu mendidik manusia untuk menjadi manusia sejati.  Guru tidak bisa lari dari tugas ini.  Sebab tugas ini tidak dibuat oleh manusia.  Tugas ini tidak dicipta untuk memenuhi kebutuhan pasar.  Tugas ini sudah ditetapkan oleh Tuhan dari surga sejak sebelum dunia dijadikan.  Maka siapapun yang berani memakai label guru harus bertanggungjawab kepada Tuhan sebagai pemberi tugas.  Yakobus memberi peringatan adalah dalam kaitannya dengan betapa penting dan seriusnya jabatan sebagai guru.  Guru memegang peranan yang sangat penting.  Guru membentuk dan mengarahkan jiwa, pikiran, pengertian, kemampuan, keahlian, murid-muridnya.  Pengaruh guru terlalu besar.  Walaupun direndahkan sebagaimanapun secara ekonomi sosial, tidak dapat dipungkiri bahwa guru masih tetap berpengaruh terlampau besar bagi murid-muridnya.  Tidaklah heran jika dikatakan bahwa guru akan dihakimi lebih berat.  Sebab jika anak belajar sesuatu yang keliru atau bahkan jahat, maka perlu ditemukan siapakah yang mengajarinya.  Jika anak belajar bahwa 2x2 adalah 7, sedangkan guru selalu menemani, maka guru bertanggungjawab atas kesalahan muridnya.  Guru punya kesempatan mengkoreksi dan sudah semestinya mengkoreksi.  Jika murid dibiarkan saja sedang guru tahu, maka guru menanggung kesalahan muridnya dengan lebih berat.  Ini sebab Yakobus menyampaikan peringatannya supaya orang tidak main-main menjadi guru.

Dengan demikian, pendidikan secara keseluruhan pun harus waspada atas peringatan universal ini.  Apa yang sudah dibuat dalam sistem pendidikan saat ini berkontribusi dalam reduksi nilai dan standar guru yang seharusnya.  Maka industri sekolah termasuk semua pengambil keputusan yang berani memutuskan untuk mengikuti sistem atau filsafat pendidikan tertentu juga akan bertemu dan bertanggungjawab kepada Tuhan sebagai pemberi tugas pendidikan.  Janganlah hal ini disepelekan.  Prinsipnya adalah, janganlah menjadi guru jika tidak memenuhi standar yang seharusnya untuk menjadi guru.  Walaupun gajah bisa dilatih untuk melukis, gajah tidak pernah bisa melukis secara otentik dan orisinil.  Sehingga gajah hanya bisa melukis sesuai pola yang diberikan, dan ini artinya tidak ada gajah bisa menjadi artis.  Sedangkan manusia dapat menjadi artis yang menghasilkan mahakarya-mahakarya agung.  Maka memang benar orang bisa dilatih untuk menjalankan mesin kurikulum, tetapi belum tentu dia bisa menjadi guru.  Sebab tidak semua orang dipanggil menjadi guru, dan tidak semua orang diberi oleh Tuhan karunia menjadi guru.  Hanya mereka yang dipanggil menjadi guru diberikan karunia menjadi guru.  Jika tidak terpanggil menjadi guru, maka janganlah menjadi guru, sebelum kerusakan yang besar terjadi.

No comments: