Sunday, August 28, 2016

Mendisiplin Anak Usia 0-2 Tahun


Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya.
Amsal 29:15

 Kecenderungan pendidikan anak zaman modern ini adalah dengan membiarkan anak usia 0-2 tahun berbuat semaunya.  Anggapan yang mendasari pembiaran ini adalah berkisar pada pemikiran bahwa anak masih belum tahu apa-apa, atau anak masih terlalu kecil untuk mengerti mana yang baik/buruk dan benar/salah, atau anak masih belum membutuhkan moral kompas tetapi yang dibutuhkan hanyalah makanan yang cukup dan pakaian yang baik serta rumah yang bisa melindungi, atau juga anggapan bahwa tidak apa-apa anak melakukan hal-hal yang tidak baik karena masih bisa diperbaiki nanti kalau sudah besar.  Padahal usia 0-2 tahun ini adalah usia pembentukan worldview yang sangat vital, yang mana akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pengertian anak nantinya, serta permulaan pembentukan kebiasaan yang akan menentukan seluruh tingkah lakunya seterusnya.  Pada usia ini anak pertama kali menyusun pengertian tentang dunia dan dirinya mulai dari tahapan yang paling sederhana.  Di usia inilah anak mulai mengerti apa yang boleh apa yang tidak boleh, apa yang bisa apa yang tidak bisa, apa yang baik dan tidak baik, apa yang menyenangkan dan yang tidak, apa yang enak dan tidak enak, dalam kaitannya dengan dirinya sendiri. 
Semua sensasi yang anak rasakan dan alami diinterpretasikan olehnya sesuai dengan kenyamanan sensori yang dialaminya.  Jika nyaman akan diteruskan, jika tidak maka akan dihindari.  Maka di usia inilah pertama kali anak sebetulnya belajar etika dan bagaimana menjadi makhluk bermoral.  Perlu diingat bahwa setiap manusia yang lahir di bumi ini setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, kecuali Tuhan Yesus, sudah tercemar oleh dosa.  Maka anak yang kecil ini sudah membawa dalam dirinya dosa dan penyimpangan.  Natur dosa adalah melanggar hukum Tuhan.  Maka jika usia anak 0-2 tahun anak dibiarkan dalam dirinya sendiri yang tercemar di dalam dosa ini, maka natur dosanya akan dipelihara dan ditumbuhkembangkan sejak dia kecil.  Seluruh worldview dia akan dibentuk dengan konteks pembiaran di mana tidak ada intervensi yang memberikan batasan mengenai mana yang baik, mana yang jahat, mana yang benar, mana yang salah.  Kondisi tanpa intervensi ini berbahaya.


Tuhan mewahyukan di dalam Amsal 29:15 ini bahwa anak tidak boleh dibiarkan.  Berarti harus ada intervensi.  Intervensi tongkat dan teguran.  Tongkat di sini dimengerti sebagai didikan.  Didikan dipahami sebagai standar jalan hidup yang benar.  Teguran dimengerti sebagai tindakan korektif.  Jika anak berlaku yang menyimpang dari didikan (jalan hidup yang benar), maka orang tua diperintahkan untuk memberikan tindakan korektif.  Natur dosa tidak boleh dipelihara dan ditumbuhkembangkan.  Teguran berfungsi untuk mematikan natur dosa yang mendikte anak untuk menikmati dosa.  Maka teguran ada di sana untuk menghentikan kenikmatan akan dosa.  Tongkat itu berdiri di sana sebagai acuan untuk standar hidup yang benar.  Ketika tongkat dipakai dan didirikan sebagai standar dalam hidup anak, maka terjadi benturan.  Benturan antara didikan Tuhan dengan natur dosa yang menolak didikan Tuhan.  Tongkat harus berdiri dengan tegas dan ketat, maka natur dosa tidak akan merasa nyaman.  Anak tidak diijinkan untuk merasa nyaman di dalam tindakan dosa.  Dengan demikian anak diluruskan jalannya.  Tidak boleh dibiarkan.  Pembiaran akan mempimpin kepada anak menjadi liar.  Semakin anak nantinya bertumbuh, semakin wataknya terbentuk, semakin kebiasaan terformasi, maka semakin sulitlah menegakkan tongkat dan teguran.  Semakin besar anak semakin ada perlawanan terhadap penegakan tongkat dan teguran.  Maka sejak anak masih sangat muda, yaitu di usia yang dikata anak masih sangat kecil, belum tahu apa-apa, beleum mengerti dan seterusnya, anak sudah perlu diberikan arah yang benar dan teguran yang menghalangi pembentukan kenikmatan tindakan dosa.

Secara konkritnya, karena anak usia 0-2 tahun memang masih belum bisa memahami kata-kata yang kompleks, maka metode pendidikan adalah melalui yang terkenal disebut sebagai rewards dan punishment.  Secara praktis metode ini bisa dilakukan mulai dari level yang paling lembut sampai yang paling keras.  Secara umum kelembutan dan kekerasan ini berhubungan dengan punishment.  Rewards biasanya tidak terlalu dipermasalahkan, walaupun sebetulnya rewards ini mengandung potensi yang sangat berbahaya jika tidak berhati-hati pada proporsi dan frekuensinya.  Perihal punishment, kelembutan bisa dikerjakan sekitar penegasan mana yang boleh mana yang tidak boleh.  Misal anak suka memasukkan barang ke dalam mulut, jika hendak menghalangi terbentuknya kebiasaan tersebut maka dengan teknik punishment kelembutan adalah dengan cara orang tua mengambil barang tersebut dari anak dan memindahkannya ke tempat lain yang tidak terjangkau.  Ini dilakukan berulang-ulang dengan semua barang yang anak masukkan ke mulut.  Tetapi perlu saya sampaikan disini, jangan biarkan ada barang apapun yang bisa menyebabkan anak menelannya dan tersedak, sebab barang dengan ukuran tertentu itu akan dapat menyebabkan kematian anak.  Barang-barang favorit anak akan termasuk ke dalam list barang-barang yang harus dipinggirkan karena anak memasukkannya ke dalam mulutnya.  Maka suatu saat kemungkinan anak akan frustrasi dan menangis karena tidak ada lagi barang di sekelilingnya, khususnya barang favorit dia, yang bisa dimasukkan ke mulut dia.  Kefrustrasian dia menjadi bentuk ketidaknyamanan yang diharapkan akan membuat anak jera.  Di sini punishment yang lembut dipakai untuk menghalangi terbentuknya kebiasaan yang tidak diinginkan.  Umumnya tindakan punishment ini dibarengi dengan pengertian yang disampaikan kepada anak secara sederhana tetapi berulang-ulang.  Misal orang tua dengan sederhana sembari meminggirkan barang yang dimasukkan ke mulut dengan mengatakan: “Tidak boleh masuk mulut.”  Kombinasikan hal ini dengan rewards yaitu ketika anak lapar maka orang tua memberikan makanan, dimana makanan masuk ke mulut, disana ada koneksi yang terbentuk yang seakan mengatakan bahwa makanan boleh masuk mulut.  Makanan, apalagi yang favorit anak, adalah bentuk rewards yang memberikan interpretasi akan apa yang boleh.  Maka kombinasi rewards dan punishment ini membawa kepada pengertian paling sederhana dari apa yang boleh atau tidak.

Ada punishment yang lebih keras, yaitu dengan spanking misalnya.  Yaitu ada penerapan rasa tidak nyaman secara langsung kepada anak.  Di sini penggunannya harus hati-hati sekali.  Kekuatan harus diukur.  Frekuensi juga harus diatur.  Dan perlu disimpan untuk hal-hal yang sifatnya sangat serius.  Zaman modern ini seringkali menghindari penggunaan punishment yang keras seperti ini.  Sebab asumsi pendidikan modern adalah pada pengertian manusia yang tidak berdosa.  Maka penggunaan punishment tidak diperlukan.  Ini adalah diskusi yang cukup panjang.  Dan artikel ini bukanlah tempatnya.  Tetapi cukuplah saya menyampaikan bahwa usia 0-2 tahun sangatlah krusial untuk dijalankan pendidikan, khususnya intervensi, sehingga anak tidak dibiarkan berbuat semaunya.  Tujuannya adalah untuk membawa anak kepada kehidupan yang benar.  Intervensi ini tidak dimulai ketika anak sudah besar, tetapi justru intervensi ini harus dilakukan mulai usia 0-2 tahun ini.
ketika anak sudah besar, tetapi justru intervensi ini harus dilakukan mulai usia 0-2 tahun ini.

1 comment:

Marten said...

Terima kasih infonya pak Ferry