Sunday, August 28, 2016

Mendisiplin Anak Usia 2-7 Tahun



 Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya.
Amsal 29:15

Kebodohan melekat pada hati orang muda, tetapi tongkat didikan akan mengusir itu dari padanya.
Amsal 22:15

13Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. 14Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati.
Amsal 23:13-14


Kesulitan mendidik anak 2-7 tahun mirip dengan kesulitan mendidik anak 0-2 tahun.  Sebab pada usia ini anak terlihat sangat lucu dan innocent, sehingga menyebabkan imajinasi bahwa anak tidak memiliki dosa.  Sehingga kecenderungan untuk membiarkan anak berbuat semaunya masih hidup di dalam hati orang tua.  Karena kelucuan anak pula maka orang tua cenderung tidak tega jika harus mendisiplin anak.  Orang tua biasanya secara tidak sadar sudah berasumsi bahwa anaknya pasti jadi anak baik walaupun tanpa ada pendidikan apapun.  Yang dibutuhkan anak hanyalah
makanan yang cukup supaya bisa bertumbuh dengan baik dan bisa tetap sehat, pakaian yang baik, dan rumah yang nyaman. 
Dan ketika mulai masuk usia sekolah, maka anak perlu disekolahkan.  Sekolah disini dipandang sebagai wadah untuk anak diberi pengetahuan, dilatih ketrampilan, diijinkan bersosialisasi, supaya bisa mencapai kesuksesan dalam karir dan profesi ketika dewasa nantinya.  Sekolah itulah yang dianggap sebagai pendidikan, dan itu cukup.  Pra-anggapannya adalah bahwa sekolah itu cukup untuk mendidik anak menjadi lebih bermoral dan menjadi manusia yang baik.  Maka orang tua menunggu masa anak masuk sekolah.  Di masa penantian tersebut orang tua tidak mendidik anaknya, tetapi hanya memelihara supaya anak bisa tumbuh secara fisik dengan baik sesuai dengan standar dan mencapai “milestones” yang secara rata-rata setiap tahunnya.

Alkitab berbicara lain dengan anggapan umum.  Amsal 22:15 menunjukkan dengan jelas dan tegas bahwa dalam diri anak terlekatlah kebodohan.  Kebodohan disini bukan hanya kebodohan karena ketidaktahuan.  Kalau anak tidak tahu maka persoalannya menjadi lebih mudah.  Misal anak tidak tahu kalau 1+1=2, sehingga setiap kali ada soal 1+1=? jawabnya selalu salah.  Maka solusi untuk hal ini tidak sulit.  Anak hanya perlu tahu bahwa 1+1=2.  Setelah anak tahu bahwa 1+1=2 maka setiap ada jawaban 1+1=? anak pasti bisa menjawab dengan benar.  Kebodohan yang dimaksud di Amsal lebih daripada ketidaktahuan.  Kebodohan disini lebih mirip dengan kebebalan, yang mana adalah saudara dengan kekeraskepalaan.  Maka bukannya tidak tahu, tetapi justru anak tahu apa yang boleh apa yang tidak, apa yang baik apa yang tidak, apa yang benar apa yang tidak, tetapi anak tetap memilih yang tidak boleh, yg tidak baik, dan yang tidak benar.  Seperti yang dilustrasikan di Amsal 9:17 misalnya: “Air curian manis, dan roti yang dimakan dengan sembunyi-sembunyi lezat  rasanya.”, yaitu bahwa mencuri secara umum sudah diketahui sebagai tindakan yang tidak boleh, tidak baik, dan tidak benar.  Tetapi orang bodoh, atau Amsal 9:16 menyebut “tak berakal budi,” tetap memilih untuk mencuri.  Inilah kebodohan itu, yaitu kebebalan yang merupakan ekspresi dari dosa, sehingga hukum Tuhan dilanggar.  Kebodohan inilah yang harus diusir dan tongkat didikanlah yang mampu mengusir kebodohan ini.  Sekali lagi, tongkat didikan adalah standar jalan hidup yang benar, atau hukum Tuhan, atau juga yang dikenal sebagai taurat Tuhan.  Dengan standar inilah maka anak boleh menjadi bijak, tidak lagi memilih apa yang tidak boleh, tidak baik, dan tidak benar.  Tetapi anak tidak bisa tahu-tahu sendiri.  Anak harus diajari.  Pendidikan harus diberikan.  Usia 2-7 tahun sangat prime untuk pendidikan ini, sebab pada usia ini anak sudah mulai mengerti bahasa, baik melalui pendengaran maupun perkataan.

Jika usia ini dilewatkan tanpa didikan, maka anak akan tetap belajar, tetapi belajar hal yang lain, belajar “standar” yang lain.  Usia ini penting sekali, dekat dengan usia 0-2 tahun, yang mana anak masih mencari fondasi, standar, dan dasar untuk berpijak supaya ada keyakinan melakukan sesuatu.  Jika standar yang diadopsi adalah standar yang salah, maka seluruh hidupnya akan salah.  Celaka jika hal tersebut terjadi.  Sebab kebiasaan berdosa akan bertumbuh berbanding lurus seiring dengan perkembangan alamiah anak.  Ekspresi dosa dari natur berdosa akan semakin terlihat di usia 2-7 tahun.  Akan terlihat kekerasan kepala, hati, dan kebebalan yang menentang didikan dan ajaran yang benar.  Jika hal ini terjadi maka harus ada sejenis punishment.  Amsal 23:13-14 memberikan referensi kepada pengunaan “rotan” atau dalam bahasa aslinya adalah “tongkat.”  Dalam ayat ini, tongkat adalah suatu kata yang dipakai untuk bermakna ganda, yaitu tongkat didikan dan juga tongkat yang secara fisik digunakan untuk memukul.  Sehingga ketika memukul – yaitu menghukum anak – dengan tongkat maka tongkat bukan dimaksudkan untuk menghancurkan anak, tetapi untuk mendidik.  Jelaslah “tongkat didikan” akan menjaga kekuatan pukulan, frekuensi pukulan, supaya bisa cukup untuk memberikan warning dan menegakkan apa yang benar.  Sehingga ayat ini mengingatkan bahwa jika ada orang tua beralasan bahwa memukul dengan tongkat – yaitu memberikan hukuman – kepada anak hanyalah akan menghancurkan anak atau secara hiperbola adalah mematikan/membunuh anak, maka justru diingatkan bahwa menghukum anak supaya tidak bebal tidak akan membunuh anak, malahan membebaskannya dari kematian, termasuk kematian kekal.

Perlu diketahui bahwa jika anak yang ditaka masih kecil dan lucu ini dibiarkan bertumbuh dalam dosa dan kesalahan, maka dosa dan kesalahan ini suatu saat akan menjadi matang dan membuahkan hasil yang mengerikan.  Justru usia ketika masih kecil inilah anak masih bisa dituntun dan diarahkan kea rah yang benar, dan masih bisa dihalangi dalam memelihara dosa.  Hitler tidak lahir sebagai anak yang langsung kelihatan kejahatan hatinya.  Tetapi saya percaya usia dia 0-7 tahun akan kelihatan lucu sekali dan innocent.  Tetapi siapa sangka berpuluh tahun kemudian dia menjadi penjahat internasional yang sangat sadis, yang menjadi pengambil keputusan atas kematian 6 juta orang Yahudi di dalam kamp-kamp yang sangat tidak manusiawi.  Lihatlah kepada potensinya.  Lihatlah kepada natur dosa yang diteruskan sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa sampai sekarang kepada semua anak yang lahir.  Jangan sampai kebodohanlah yang bertahta di hati anak kita dan menguasai semua pikiran dan perbuatannya.

No comments: